Tuesday, September 28, 2010

"TAKDIR"

Assalamulaikum sahabat dan kawan-kawan semua, apa kabar semuga anda sehat dan ceria selalu
Macamana dengan sambutan Hari Raya anda semua, Alhamdulillah kalau Ok,.Dan jadikan lah hari mulia ni sebagai hari yang mendidik hati kita sebagai manusia yang bersifat pemberi dan penerima maaf.

Pesan saya pada sahabat pada musim perayaan ni kalau boleh control lah makan tu, jangan berlebihan nati penyakit yang datang, bila penyakit datang tentu sahabat akan berkata “dah takdir” kan, semua orang akan berkata bagitu, kita akan bincangkan tentang “dah takdir “ ni

Selalu kita dengar orang sebut "dah takdir" kalau di timpa sesuatu musibah atau bencana
Tapi apakah sebenarnya yang dikatakan takdir? Adakah sahabat semua memahaminya?,
Adakah dengan melakukan sesuatu benda diatas dorongan nafu sendiri boleh juga dikategorikan sebagai takdir? . Baik lah sahabat kita berkongsi pengalaman dan pengetahuan tentang “dah takdir”


Takdir adalah ketentuan suatu peristiwa yang terjadi di alam raya ini yang meliputi semua sisi kejadiannya baik itu mengenai kadar atau ukurannya, tempatnya maupun waktunya. Dengan demikian segala sesuatu yang terjadi tentu ada takdirnya, termasuk manusia

Takdir dalam agama Islam

Umat Islam memahami takdir sebagai bahagian dari tanda kekuasaan Tuhan yang harus diimani sebagaimana dikenal dalam Rukun Iman. Penjelasan tentang takdir hanya dapat dipelajari dari informasi Tuhan, yaitu informasi Allah melalui Al Quran dan Al Hadits. Secara keilmuannya umat Islam dengan sederhana telah mengarti akan takdir itu sebagai segala sesuatu yang sudah terjadi. dan telah di tentukan

Untuk memahami konsep takdir, umat Islam tidak dapat melepaskan dirinya dari dua dimensi pemahaman takdir. Kedua dimensi dimaksud ialah dimensi keTuhanan dan dimensi kemanusiaan.

Dimensi keTuhanan

Dimensi ini adalah merupakan sekumpulan ayat-ayat dalam Al Quran yang menginformasikan bahwa Allah maha kuasa menciptakan segala sesuatu termasuk menciptakan Takdir.

Kita lihat terjemahan ayat-ayat Al Quran di bawan ini

* Dialah Yang Awal dan Yang Akhir ,Yang Zhahir dan Yang Bathin
(Al Hadid / QS. 57:3). Allah tidak terikat ruang dan waktu, bagi-Nya tidak memerlukan apakah itu masa lalu, kini atau akan datang).
* Dia (Allah) telah menciptakan segala sesuatu dan sungguh telah menetapkannya (takdirnya) (Al-Furqaan / QS. 25:2)

* Apakah kamu tidak tahu bahwa Allah mengetahui segala sesuatu yang ada di langit dan bumi. Sesungguhnya itu semua telah ada dalam kitab, sesungguhnya itu sangat mudah bagi Allah (Al-Hajj / QS. 22:70)

* Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya (Al Maa'idah / QS. 5:17)

* Kalau Dia (Allah) menghendaki maka Dia memberi petunjuk kepadamu semuanya (Al-An'am / QS 6:149)

* Allah menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat (As-Safat / 37:96)

* Dan hanya kepada Allah-lah kesudahan segala urusan (Luqman / QS. 31:22).
Allah yang menentukan segala akibat.

Dimensi kemanusiaan

Dimensi kemanusiaan ini merupakan sekumpulan ayat-ayat dalam Al Quran yang meginformasikan bahwa Allah memerintahkan manusia untuk berusaha dengan bersungguh-sungguh untuk mencapai cita-cita dan tujuan hidup yang dipilihnya.

* Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia (Ar Ra'd / QS. 13:11)

* (Allah) Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun (Al Mulk / QS. 67:2)

* Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, Nasrani, Shabiin (orang-orang yang mengikuti syariat Nabi zaman dahulu, atau orang-orang yang menyembah bintang atau dewa-dewa), siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan beramal saleh, maka mereka akan menerima ganjaran mereka di sisi Tuhan mereka, tidak ada rasa takut atas mereka, dan tidak juga mereka akan bersedih (Al-Baqarah / QS. 2:62). Beriman kepada Allah dan hari kemudian dalam hati juga beriman kepada Rasul, kitab suci, malaikat, dan takdir.

* ... barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir... (Al Kahfi / QS. 18:29)



Implikasi Iman kepada Takdir

Kesadaran manusia untuk beragama merupakan kesadaran akan kelemahan dirinya. Terkait dengan fenomena takdir, maka wujud kelemahan manusia itu ialah ketidaktahuannya akan takdirnya. Manusia tidak tahu apa yang sebenarnya akan terjadi. Kemampuan berfikirnya memang dapat membawa dirinya kepada perhitungan, provoksi dan perencanaan yang canggih. Namun setelah diusahakan realisasinya tidak selalu sesuai dengan keinginannya. Manuisa hanya tahu takdirnya setelah ianya terjadi.

Oleh sebab itu sekiranya manusia menginginkan perubahan keadaan dalam menjalani hidupnya di dunia ini, diperintah oleh Allah untuk berusaha dan berdoa untuk merubahnya. Usaha perubahan yang dilakukan oleh manusia itu, kalau berhasil seperti yang diinginkannya maka Allah melarangnya untuk menepuk dada sebagai hasil karyanya sendiri. Bahkan sekiranya usahanya itu dinialianya gagal dan bahkan manusia itu sedih bermuram durja menganggap dirinya sumber kegagalan, maka Allah juga menganggap hal itu sebagai kesombongan yang dilarang juga. (Al Hadiid QS. 57:23).

Kesimpulannya, karena manusia itu lemah (antara lain tidak tahu akan takdirnya) maka diwajibkan untuk berusaha secara bersungguh-sungguh untuk mencapai tujuan hidupnya iaitu beribadah kepada Allah. Dalam menjalani hidupnya, manusia diberikan pegangan hidup berupa wahyu Allah yaitu Al Quran dan Al Hadits untuk ditaati.


Manusia mempunyai kemampuan yang amat terbatas sesuai dengan ukuran yang diberikan oleh Allah kepadanya. Makhluk, ini misalnya, tidak dapat terbang. Ini merupakan salah satu ukuran atau batas kemampuan yang dianugerahkan oleh Allah kepadanya. Ia tidak mampu melampauinya, kecuali jika ia menggunakan akalnya
untuk menciptakan satu alat, namun akalnya pun, mempunyai ukuran yang tidak mampu dilampaui.

Di sisi lain, manusia berada di bawah hukum-hukum Allah sehingga segala yang kita
lakukan pun tidak terlepas dari hukum-hukum yang telah mempunyai kadar dan ukuran tertentu. Hanya saja karena hukum-hukum tersebut cukup banyak, dan kita diberi kemampuan untuk memilih -tidak sebagaimana matahari dan bulan misalnya- maka
kita dapat memilih yang mana di antara takdir yang ditetapkan Tuhan terhadap alam yang kita pilih. Api ditetapkan Tuhan panas dan membakar, angin dapat menimbulkan
kesejukan atau dingin; itu takdir Tuhan -manusia boleh memilih api yang membakar atau angin yang sejuk. Di sinilah pentingnya pengetahuan dan perlunya ilham atau petunjuk
Ilahi. Salah satu doa yang diajarkan Rasulullah adalah:

"Wahai Allah, jangan engkau biarkan aku sendiri (dengan
pertimbangan nafsu akalku saja), walau sekejap."

Ketika di Syam (Syria, Palestina, dan sekitarnya) terjadi
wabah, Umar ibn Al-Khaththab yang ketika itu bermaksud
berkunjung ke sana membatalkan rencana beliau, dan ketika
itu tampil seorang bertanya:

"Apakah Anda lari/menghindar dari takdir Tuhan?"

Umar r.a. menjawab,

"Saya lari/menghindar dan takdir Tuhan kepada takdir-Nya
yang lain."

Demikian juga ketika Imam Ali r.a. sedang duduk bersandar di satu tembok yang ternyata rapuh, beliau pindah ke tempat lain. Beberapa orang di sekelilingnya bertanya seperti
pertanyaan di atas. Jawaban Ali ibn Thalib, sama intinya dengan jawapan Khalifah Umar r.a. Rubuhnya tembok, berjangkitnya penyakit adalah berdasarkan hukum-hukum yang
telah ditetapkan-Nya, dan bila seseorang tidak menghindar ia akan menerima akibatnya. Akibat yang menimpanya itu juga adalah takdir, tetapi bila ia menghindar dan luput dari
marabahaya maka itu pun takdir. Bukankah Tuhan telah menganugerahkan manusia kemampuan menilai dan memilih? Kemampuan ini pun antara lain merupakan ketetapan atau takdir yang dianugerahkan-Nya Jika demikian, manusia tidak dapat luput dari takdir, yang baik maupun buruk. Tidak bijaksana jika hanya yang merugikan saja yang disebut
takdir, karena yang positif pun takdir. Yang demikian merupakan sikap 'tidak menyucikan Allah, serta bertentangan dengan petunjuk Nabi Saw.,' "... dan kamu harus percaya kepada takdir-Nya yang baik maupun yang buruk." Dengan demikian, menjadi jelaslah kiranya bahwa adanya takdir tidak menghalangi manusia untuk berusaha menentukan masa depannya sendiri, sambil memohon bantuan Ilahi

Apakah Takdir Merupakan Rukun Iman?

Perlu diperhatikan bahwa dari sudut pandang pengajian Al-Quran, kewajipan mempercayai adanya takdir tidak secara otomatik menyatakannya sebagai satu di antara rukun iman yang enam.
Al-Quran tidak menggunakan istilah "rukun" untuk takdir, bahkan tidak juga Nabi Saw. dalam hadis-hadis beliau. Memang, dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh banyak
pakar hadis, melalui sahabat Nabi Umar ibn Al-Khaththab, dinyatakan bahwa suatu ketika datang seseorang yang berpakaian sangat putih, berambut hitam teratur, tetapi
tidak tampak pada penampilannya bahwa ia seorang pendatang, namun, "tidak seorang pun di antara kami mengenalnya."
Demikianlah Umar r.a. Dia bertanya tentang Islam, Iman, Ihsan, dan saat kiamat serta tanda-tandanya. Nabi menjawab antara lain dengan menyebut enam perkara iman, yakni percaya kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul- rasulNya, hari kemudian, dan "percaya tentang takdir-Nya yang baik dan yang buruk."
Setelah yang bertanya pergi, Nabi menjelaskan bahwa,

"Dia itu Jibril, datang untuk mengajar kamu, agama kamu."
Dari hadis ini, banyak ulama merumuskan enam rukun Iman
tersebut.


Seperti dikemukan di atas, Al-Quran tidak menggunakan kata rukun, bahkan Al-Quran tidak pernah menyebut kata takdir dalam satu rangkaian ayat yang berbicara tentang kelima perkara lain di atas. Perhatikan firman-Nya dalam surat
Al-Baqarah (2): 285,

"Rasul percaya tentang apa yang diturunkan kepadanya dari
Tuhannya, demikian juga orang-orang Mukmin. Semuanya percaya
kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya,
Rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian."

Dalam QS Al-Nisa' (4): 136 disebutkan:

"Wahai orang-orang yang beriman, (tetaplah) percaya kepada Allah dan Rasul-Nya, dan kepada kitab yang diturunkan kepada Rasul-Nya, dan kitab yang disusunkan sebelum (Al-Quran).
Barangsiapa yang tidak percaya kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, dan hari kemudiam, maka sesungguhnya dia telah sesat sejauh-jauhnya."

Bahwa kedua ayat di atas tidak pun menyebutkan tentang perkara takdir, bukan berarti bahwa takdir tidak wajib dipercayai. Tidak! ..Yang ingin dikemukakan ialah bahwa Al-Quran tidak menyebutnya sebagai rukun, tidak pula merangkaikannya dengan kelima perkara lain yang disebut dalam hadis Jibril di atas. Karena itu, agaknya dapat dimengerti ketika sementara ulama tidak menjadikan takdir sebagai salah satu rukun iman, bahkan dapat dimengerti jika sementara mereka hanya menyebut tiga hal pokok, iaitu keimanan kepada Allah, malaikat, dan hari kemudian.
Bagi penganut pendapat ini, keimanan kepada malaikat mencakup keimanan tentang apa yang mereka sampaikan
(wahyu Ilahi), dan kepada siapa disampaikan, yakni para Nabi
dan Rasul.

Bahkan jika kita memmerhatikan beberapa hadis Nabi, seringkali beliau hanya menyebut dua perkara, iaitu percaya kepada Allah dan hari kemudian.

"Siapa yang percaya kepada Allah dan hari kemudian, maka hendaklah ia menghormati tamunya. Siapa yangpercaya kepada Allah dan hari kemudian, maka hendaklah ia menyambung tali kerabatnya. Siapa yang percaya kepada Allah dan hari
kemudian, maka hendaklah ia berkata benar atau diam."

Demikian salah satu sabdanya yang diriwayatkan oleh Bukhari
dan Muslim melalui Abu Hurairah.





Al-Quran juga tidak jarang hanya menyebut dua di antara hal-hal yang wajib dipercayai. Perhatikan misalnya surat
Al-Baqarah (2): 62,

"Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, Nasrani, Shabiin (orang-orang yang mengikuti syariat Nabi zaman dahulu, atau orang-orang yang menyembah bintang atau dewa-dewa), siapa saja di antara mereka yang benar-benar
beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan beramal saleh, maka mereka akan menerima ganjaran mereka di sisi Tuhan mereka, tidak ada rasa takut atas mereka, dan tidak juga mereka akan bersedih."

Ayat ini tidak berarti bahwa yang dituntut dari semua kelompok yang disebut di atas hanyalah iman kepada Allah dan hari kemudian, tetapi bersama keduanya adalah iman kepada Rasul, kitab suci, malaikat, dan takdir. Bahkan ayat tersebut hanya menyebut dua hal pokok, tetapi tetap menuntut keimanan menyangkut segala sesuatu yang
disampaikan oleh Rasulullah Saw., baik dalam enam perkara yang disebut oleh hadis Jibril di atas, maupun perkara lainnya yang tidak disebutkan.

Demikianlah pengertian takdir dalam bahasa dan penggunaan
Al-Quran.

Adakah sahabat mengerti bahawa kehidupan ini adalah rencam sekali, kita di tuntut untuk belajar dan mempelajari sesuatu agar kita memahami erti kehidupan ini sebenarnya

…………..renung-renungkan lah wahai sahabat

No comments: